svgLiveChat
Close

By Solo Kitchenset Juni 16, 2019 In Kitchen Set

Cara Praktis Memisahkan Keuangan Pribadi Dengan Usaha

Pada suatu hari saya berkunjung ke sebuah bisnis produsen kue semprong dengan pendapatan sekitar Rp3-4 juta sehari (rutin dan cenderung stabil) alias Rp900 juta sampai Rp1.2 milyar per tahun. Untuk konteks UMKM, bisnis ini sudah tergolong Usaha Kecil karena omsetnya sudah di atas Rp300 juta namun masih dibawah Rp2.5 milyar per tahun. Jadi secara pertumbuhan, tentunya dapat dikatakan bagus sekali, khususnya ditengah banyaknya pelaku Usaha Mikro kita yang mengalami stagnasi usaha. Alias, usahanya berhasil bertahan bertahun-tahun, tapi juga ga gede-gede. Tapi kunjungan tersebut membuat saya sedikit heran, karena pemilik usahanya mengeluhkan tidak punya modal untuk mengganti blender bumbunya yang saat ini bermuatan 2 liter saja, sementara mereka membutuhkan yang setidaknya bermuatan 10 liter sekitar 2-3 unit (katanya harga sekitar Rp5-10juta). Apakah kondisi ini wajar ya? Masa sih omset sekitar Rp1 milyar per tahun ga punya uang sekitar Rp20 juta buat beli blender?

Lain pula alkisah produsen minuman bubuk dalam botol yang mengeluhkan sulitnya mencari reseller, karena Ia hanya sanggup memberi komisi 5%. Katanya margin labanya sudah sangat tipis, tidak bisa menawarkan komisi lebih dari itu, dan akhirnya tak banyak orang yang semangat ingin menjadi resellernya. Apakah ini juga wajar?

Berdasarkan “rahasia umum” bisnis, kalau usaha di bidang industri pengolahan makanan minuman itu margin laba kotor sekitar 100% dari ongkos (artinya kalau biaya langsung produksi per produk adalah Rp100, maka baru logis berbisnis jika produknya bisa dijual Rp200). Hal yang serupa dengan jasa makanan seperti katering. Bahkan kalau perdagangan produk-produk pertanian yang ongkos angkutnya cenderung mahal (dari petani di desa ke berbagai pelosok kota), konon rahasia umumnya adalah dikali 3 atau margin kotor 200%. Artinya jika komoditi A dibeli dari petani Rp100, dia harus bisa dijual ke konsumen akhir di berbagai pelosok kota Rp300. Jadi kalau kita gunakan ini untuk menilai kedua kasus di atas; maka kesimpulannya adalah tidak wajar. Mengapa?

Dengan omset atau total penjualan per tahun Rp900juta per tahun, perkiraan laba kotor adalah tinggal dibagi 2 atau Rp450juta. Jika dikurangi dengan berbagai komponen biaya tetap seperti sewa tempat produksi, gaji karyawan tetap, listrik dll, paling pesimis margin laba bersihnya adalah sekitar 10% dari omset atau Rp90juta. Apakah wajar ya kalau laba Rp90juta ga sanggup beli blender harga per unit Rp5-10 juta? Perhitungan serupa dapat diaplikasikan untuk contoh kasus kedua.

Usut punya usut, ternyata keduanya tidak terlalu menyadari berapa keuntungan bersih ataupun margin laba kotornya. Mereka hanya merasa saldo kas usaha yang bisa diputarkan kembali sangat tipis. Mengapa? Karena uang hasil penjualan juga digunakan untuk membayar uang sekolah dan jajan anak, beli beras dan kebutuhan sehari-hari rumah tangga lainnya (termasuk baju baru), sampai pengeluaran untuk sumbangan saudara atau tetangga yang menikah. Akhirnya, ketika usahanya butuh beli peralatan, mereka bingung sendiri, “perasaan penjualan lancar-lancar aja, tapi kok mau beli blender besar ga ada-ada ya uangnya?

Inilah mengapa pemisahan keuangan usaha dengan rumah tangga mutlak dilakukan bagi siapa saja yang ingin serius mengembangkan usaha. Ini adalah langkah awal agar kita bisa menilai kinerja usaha kita secara benar. Ribet ga sih? Tentunya tidak jika tahu cara cerdiknya.

1. Mulailah menyiapkan dompet atau rekening terpisah khusus untuk usaha.

Jika saat ini belum punya rekening di bank, upayakan untuk memiliki 2 dompet yang berbeda. Jika baru punya 1 buah rekening, buatlah 1 rekening baru khusus untuk usaha. Tetap pakai nama pribadi ga masalah, yang penting rekeningnya terpisah.

Tip: Untuk mendukung usaha, buatlah rekening di bank yang punya mesin ATM setor tunai dekat dengan tempat usaha atau rumah; atau bank yang sudah kerjasama dengan gerai dekat rumah untuk menerima tabungan kita (apalagi yang tanpa biaya transaksi). Hal ini agar kita tak perlu Antri di kantor cabang hanya untuk melakukan penyetoran uang. Kalau mau bisnis, kita harus mulai berpikir hemat waktu juga, jadi bukan hanya hemat uang. Bagi yang pendapatan usahanya masih didominasi oleh pembayaran tunai, penting sekali untuk bisa rutin melakukan penyetoran agar arus masuknya pendapatan usaha tercatat di buku tabungan. Jika 1 detik kemudian dana yang baru disetor kita tarik lagi untuk belanja bahan baku atau barang dagangan, ga masalah kan? Yang penting sudah tercatat ada dana masuk. Hal ini bisa berguna jika suatu waktu kita membutuhkan pinjaman dari bank tersebut. Paling tidak kita memiliki catatan mutasi rekening yang menunjukkan adanya arus masuk pendapatan secara rutin (misalnya mingguan), ini akan menjadi poin keunggulan dimana bank yang akan dimintai pinjaman.

2. Mulailah “menggaji” diri sendiri, dan belajar disiplin agar keperluan rumah tangga didanai dari “gaji” tersebut.

“Boro-boro menggaji diri sendiri, Bu, penjualan aja masih kaya aer sungai begini, alias pasang surut, ga stabil. Kadang ada penjualan, kadang ga ada!”. Kira-kira begitulah respon yang umum saya terima ketika saya menyampaikan tip atau trik ini. Tapi kalau kita mau naik kelas, marilah jangan pesimis dulu. Makanya saya beri tanda kutip “menggaji”. Maksudnya apa?

Kebanyakan pelaku usaha mikro atau pemula, pemilik adalah juga pekerja bagi usahanya sendiri. Lalu rumah tempat mereka tinggal juga merupakan tempat berusaha. Misal, bikin warung di depan rumah; masak pesanan katering di dapur rumah; menyimpan stok bahan baku di kulkas yang sama dengan rumah tangga pula. Artinya, ada 3 peran yang dijalankan sekaligus, yaitu pemilik usaha sebagai penanam modal, pekerja/karyawan, dan pemilik properti tempat terjadinya aktivitas usaha.

Dengan demikian, maksud “menggaji” tadi dapat diwujudkan ke dalam 3 jenis pembayaran dari rekening usaha ke rekening pribadi pemilik usaha, yaitu pembayaran gaji/honor/komisi untuk perannya sebagai pekerja; pembayaran uang sewa atau subsidi listrik air dan telpon untuk perannya sebagai pemilik properti; dan pembayaran bagi hasil laba atau deviden untuk perannya sebagai pemodal.

Tip: Jika pendapatan usaha belum stabil, pemilik dapat menetapkan “gaji” berupa komisi yang besar kecilnya bergantung pada tinggi rendah atau ada tidaknya penjualan. Contoh: pemilik mengambil 10-15% komisi dari setiap penjualan yang terjadi di setiap hari, minggu, atau bulannya. Setelah pendapatan usaha cenderung stabil, pemilik usaha dapat mulai menggaji dirinya sendiri dengan besaran tetap per bulan yang dihitung berdasarkan tingkat kebutuhan rumah tangga minimum (misal kebutuhan rumah tangga Rp3 juta per bulan, maka pemilik bisa digaji segitu). Jika pendapatan usaha semakin meningkat dan memiliki kemampuan membayar gaji lebih tinggi barulah pemilik usaha dapat mulai menggaji dirinya berdasarkan harga pasaran yang berlaku untuk jabatan dan beban kerja yang sesuai. Gaji untuk diri sendiri ini bisa dikombinasikan dengan komisi juga agar kita terus semangat. Misalnya gaji tetap X rupiah per bulan, tapi juga ada komisi Y% jika omset atau penjualan usaha berhasil menembus target yang telah ditetapkan.

Besaran biaya sewa dapat dimulai dengan perkiraan besar/kecilnya tambahan pemakaian listrik, air, gas, dan telpon/internet akibat aktivitas usaha. Misalnya, dulu waktu belum berusaha biasanya beli gas per bulan Rp150rb; setelah bisnis jadi Rp250rb. Nah, kalau begini, minimal dari pendapatan usaha ada Rp100.000 yang perlu dibayarkan ke rekening rumah tangga pemilik setiap bulannya sebagai bentuk “uang sewa” properti. Jika kemampuan usaha mulai meningkat, biaya sewa ini mulai bisa disetarakan dengan harga sewa tempat usaha di lokasi dan ukuran yang mirip-mirip. Hal ini baik juga untuk membuat perhitungan biaya usaha kita lebih professional. Tak jarang ada pelaku Usaha Mikro Kecil merasa margin labanya tinggi dan menarik. Ya wajar saja, soalnya tidak ada komponen biaya sewa tempat usaha di struktur biayanya. Padahal, kalau kegiatan-kegiatan usaha itu dilakukan di luar rumah, mereka perlu membayar uang sewa, kan? Jadi, justru direkomendasikan agar bisnis kita membayar sewa ke diri kita sendiri.

Latihanlah agar bisa disiplin untuk menggunakan uang dari rekening pribadi untuk urusan-urusan rumah tangga, dan hanya menggunakan rekening usaha untuk urusan usaha. Kalau pun kita masih ga telaten membuat pembukuan atau laporan keuangan laba rugi, paling tidak saldo yang tersisa direkening setiap bulannya dapat memberi kita gambaran soal besaran laba usaha. Nah, sebagai penanam modal, kita berhak juga atas deviden atau bagi hasil dari laba (atau sisa hasil usaha) tersebut. Tapi ingat, kalau mau mengembangkan usaha, ya jangan diambil semua! Biasakan maksimal 50% saja, kalau perlu hanya 30-40% dari laba saja yang diambil untuk menambah kesejahteraan pribadi atau rumah tangga. Hal ini agar ada bagian laba yang diputarkan kembali untuk mengembangkan usaha. Contoh, jika sekarang cuma bisa beli gula per 5 kg, dengan adanya laba ditahan, kan kita bisa beli gula per 10 atau bahkan 25 kg, sehingga bisa beli dari agen bukan pengecer; harga per kg yang didapat nantipun bisa lebih murah, kan? Pintar memutarkan laba, membuat kita bisa menekan biaya, dan akhirnya bisa memperbesar margin laba lagi kedepannya. Betul tidak?

3. Mulailah menerima pembayaran via transfer dan belanjalah dengan kartu debit.

Mengapa? Agar pemasukan usaha langsung tercatat di rekening usaha, begitu pula dengan catatan pengeluaran usaha. Kan kebanyakan pelaku usaha cenderung keteteran atau bahkan malas mencatat pendapatan maupun pengeluaran. Ya sudah, cara mudahnya adalah pelan-pelan ubah kebiasaan kita dari usaha yang 100% pakai uang tunai – sehingga masih harus sering-sering disetor kemudian ambil lagi – menjadi sebagian ada yang pakai pembayaran transfer atau belanja pakai gesek kartu debit atau transfer juga ke pemasok kita. Jangan lupa isi kolom “berita” saat transfer, jadi kita mudah untuk memonitor pengeluaran.

4. Mulailah urus dan gunakan mobile dan internet banking.

Pelaku usaha yang ingin berkembang haruslah mulai mempertimbangkan waktunya. Kata orang, time is money. Dalam bisnis, hal ini ada benarnya. Daripada waktu kita habis 2 jam untuk pergi, parkir, antri, lalu kembali ke rumah hanya untuk urus transfer nominal besar atau cetak rekening koran (untuk melihat mutasi rekening), kan lebih hemat waktu kalau kita bisa unduh sendiri dengan internet banking? Begitu pula untuk urusan pembayaran berbagai tagihan. Daripada repot ke ATM atau toko-toko modern, kan bisa langsung bayar sendiri pakai HP (mobile banking) atau internet. Mulailah menghargai waktu. Untuk itu, mau ga mau kita harus menggunakan teknologi perbankan terkini. Lebih baik “investasi” waktu 1-2 jam di awal untuk ke bank urus mobile dan internet banking tapi kelak bisa hemat banyak waktu, daripada “males ribet” urus mobile dan internet banking, tapi boros banyak waktu ke depannya.

Jadi gimana teman-teman? Praktis, kan? Ada kemauan ada jalan. Ga ada yang sulit selama kita bisa mendidik pola pikir kita untuk mulai menghargai waktu dan disiplin mengelola keuangan usaha. Sekarang ini bahkan sudah ada beberapa produk tabungan digital yang bisa dibuka tanpa ke kantor cabang, cukup unduh aplikasinya. Bahkan ada yang menawarkan gratis transfer antar bank dan gratis biaya administasi bulanan. Jadi mestinya sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan untuk membuka rekening baru khusus untuk usaha. Ayo kita mulai jeli memanfaatkan berbagai solusi dan tawaran menarik yang ada, dan yuk, kita lebih serius kembangkan usaha dimulai dengan langkah sederhana memisahkan keuangan usaha dengan rumah tangga sekarang juga!


 

B2B marketplace UKM dan direktori bisnis online UMKM di Indonesia, kami memilki member yang sudah menggunakan layanan dari Bisnis UKM, selain sebagai portal Marketplace kami pun menyediakan berbagai layanan periklanan, seperti pembuatan website, pembuatan Company Profile dan masih banyak sekali media promosi yang kami sediakan untuk kepentingan Digital Marketing lain nya.

Bisnis UKM adalah B2B Marketplace dan Direktori Bisnis, Supplier produk UKM & UMKM di Indonesia.

Situs Jual Beli khusus B2B Marketplace UMKM, B2B E-commerce UKM, Pusat Distributor Produk UKM, Trading, Supplier Produk, Agen, Grosir, Importir, Exportir dan Penyedia Jasa Usaha Mikro dan Menengah di Indonesia.

Berita Bisnis UKM | Berita UKM | Bisnis Online | Event Bisnis UKM | Info Bisnis UKM | Liputan Bisnis | Pelatihan UKM | Pembiayaan UKM | Permodalan UKM | Strategi Bisnis UKM | Tips Bisnis UKM